Tentang Kami

Pengikut

Kamis, 28 April 2011

Bersabarlah Wahai Para Mujahid Dakwah


Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi

Sabar adalah akhlak yang sangat mulia. Ia menjadi hiasan para Nabi untuk menghadapi berbagai tantangan dakwah yang menghadang. Berhias diri dengan sabar hanyalah akan membuahkan kebaikan.

اصْبِرُوا

“Bersabarlah!”

Demikian perintah Allah terhadap Rasul-Nya Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam di dalam Al Qur’an. Hal ini menunjukkan betapa besar kedudukan sabar kaitannya dengan keimanan kepada Allah dan kaitannya dengan perwujudan iman tersebut dalam kehidupan dan terlebih sebagai pemikul amanat dakwah. Tentu jika anda menyambut seruan tersebut niscaya anda akan berhasil sebagaimana berhasilnya Rasulullah, keberhasilan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman:



Mengapa Nabi Isa Disebut Al-Masih??

Kenapa Nabi Isa Di Juluki Al Masih ?

Jawab:

Tidak diragukan lagi, bahwa nama aslinya adalah Isa. Nama itulah yang disebutkan dalam al-Quran seperti dalam ayat :


Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: "Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,09

berikutnya dalam ayat yang artinya:
Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya 10

dan ayat yang artinya:
 
dan Zakariya, Yahaya, `Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh 11

dan ayat yang artinya:



Maulid Nabi Dalam Tinjauan Sejarah

MAULID
Tinjauan Sejarah dan Analisa Dampak

Sejarah lahirnya Maulid
Syaikh ‘Ali Mahfudzh dalam bukunya menerangkan, “Ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakannya ialah para Khalifah Bani Fahimiyyah di Kairo pada abad keempat Hijriyah. Mereka merayakan perayaan bid’ah enam maulid, yaitu: Maulid Nabi saw, Maulid Imam ‘Ali ra, Maulid Sayyidah Fathimah Az-Zahra radhiallahuanha, Maulid Al-Hasan dan Al-Husein dan maulid Khalifah yang sedang berkuasa. Perayaan tersebut terus berlangsung dalam berbagai bentuknya sampai dilarang pada zaman pemerintahan Al-Afdhal Amirul Juyusy. Perayaan ini kemudian dihidupkan kembali di zaman pemerintahan Al-Hakim biamrillah pada tahun 524 Hijriyah setelah orang-orang hampir melupakannya. Dan yang pertama kali maulid Nabi dikota Irbil adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Said di abad ketujuh dan terus berlangsung sampai di zaman kita ini. Orang-orang memperluas acaranya dan menciptakan bid’ah-bid’ah sesuai dengan selera hawa nafsu mereka yang diilhamkan oleh syaithan , jin dan manusia kepada mereka.” [Al-Ibda’ fi madhiril ibtida’: 126].



Poligami Dihujat !! (Bagian 2)


:: Sembilan Istri Hanya Khusus Bagi Nabi ::
Ayat 3 Surat an-Nisaa` di atas merupakan dalil yang terang dan tegas akan batasan jumlah isteri. Demikian pula dengan beberapa riwayat hadits di atas, dimana Rasulullah memerintahkan para sahabatnya yang baru masuk Islam sedangkan mereka memiliki isteri lebih dari empat supaya menceraikan selebihnya.
Adapun 9 isteri yang dimiliki oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, maka ini adalah kekhususan yang dimiliki oleh beliau dan tidak dimiliki oleh selain beliau, sedangkan beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah orang yang ma’shum dan terpelihara dari kesalahan. Kekhususan beliau ini banyak, diantaranya adalah beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam dan keluarga beliau tidak boleh menerima zakat...
Adapun yang diklaim oleh Syiah Rafidhah dan aliran sekte sesat lainnya yang menyatakan bahwa, penafsiran ayat di atas (QS 4:3) adalah : nikahilah dua atau tiga atau empat maksudnya dua + tiga + empat = sembilan, maka ini adalah penafsiran yang menyimpang dan menyeleweng dari Islam. Islam membatasi hanya 4 isteri dan ini adalah kesepakatan ulama Islam semenjak dahulu maupun sekarang.



Rabu, 20 April 2011

Belajar Berdzikir dari Alam...

Sepenggal Motivasi,
Purnama sempurna
memantulkan sinar sang surya
di tengah malam ...
di tengah satuan masa ...
ia pun berdzikir

mendung beriring
mendekap sebagian terik
mewarnai langit dengan aura klasik
menggendong massa air
ia pun berdzikir



Selasa, 19 April 2011

Poligami Dihujat !! (Bagian 1)

 (Bagian 1)
:: Mengapa Bicara Poligami::
Poligami merupakan nizham (peraturan/syariat) di dalam Islam yang semenjak dahulu dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kuffar untuk menghantam dan mencela agama Islam dan Rasulullah Shallalallahu ’alaihi wa Salam.
Bahkan semenjak zaman Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan celaan-celaan dan hujatan-hujatan kepada Nabi dan syariat Poligami ini. Diriwayatkan oleh ’Umar Maula (mantan budak) Ghufroh [dia berkata] :
 
قالت اليهود لما رأت الرسول يتزوج النساء: أنظروا إلى هذا الذي لا يشبع من الطعام، ولا والله ماله همة إلا النساء

Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita : Lihatlah orang yang tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Alloh, ia tidaklah punya hasrat melainkan kepada para wanita.”
[Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal. 233, melalui perantaraan Hamdi Syafiq, Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i Dhorurotul Ashri].



Selasa, 05 April 2011

Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah

Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah
 

Di tengah gelombang kebid’ahan dan kesyirikan yang menerpa umat sekarang ini. Di saat kebingungan dan ketimpangan semakin membelit kaum mudanya. Ahlul ahwa’ (para pengikut hawa-nafsu) tidak henti-hentinya melontarkan kerancuan dan keraguan.
Bahkan tidak jarang melemparkan tuduhan serta fitnah yang tidak berdasar ke tengah-tengah umat terhadap kemulian dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini dan para dainya. Semua itu ibarat riak-riak kecil, bila tidak segera ditepis akan menjadi gelombang ganas yang membahayakan lagi mengkhawatirkan.



Minggu, 03 April 2011

DEFENISI MAHROM DAN MACAM-MACAMNYA

Oleh : Ahmad Sabiq bin Abdul Latif

Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahrom, seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain. Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan "Muhrim" padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihrom untuk haji atau umroh. Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi umat. Wallahu Al Muwaffiq.

DEFINISI MAHROM

Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, "Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan dan pernikahan." [Al-Mughni 6/555]



Sekedar Sebuah Support Bagi Mu Kawan



Sekedar Sebuah Support Bagi mu 
Kawanku Yang Kurang Beruntung




Dizaman ini,...
Pendidikan yang menjadi tolok ukur kepintaran seseorang adalah pendidikan eksak atau lebih dikenal ilmu duniawi...



Sabtu, 02 April 2011

KH. Mahrus Ali, Mantan Kyai NU yang Mendakwahkan Sunnah di Kalangan Nahdhiyin




“Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa(atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.23)

“Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabi’uts tsani 1345H/21Oktober 1926M mencantumkan pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan setelah kematian (yakni Tahlilan dan Yasinan-ed) adalah Bid’ah yang hina/tercela, namun tidak sampai mengharamkannya. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, keputusan Muktamar, Munas Kombes Nahdhatul Ulama (1926-2004M) LTN NU Jawa Timur Bekerja sama dengan Penerbit Khalista, Surabaya-2004. Cetakan ketiga, Februari 2007 Halaman 15 s/d 17).” (KH. Makhrus Ali dalam buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali” hal.19)


Bagi warga Sidoarjo, khususnya bagi warga NU, nama KH. Makhrus Ali amat dikenal. Beliau adalah seorang tokoh kyai besar yang telah terjun di medan dakwah. Tapi siapa yang menyangka kalau KH. Makhrus Ali berubah manhajnya dalam beragama yang semula sebagai seseorang yang gemar melakukan tradisi dan amaliah kebid’ahan, kini beralih menjadi seorang Ahlussunnah. Insya Allah.



Biografi dan Perjalanan Ilmiah Mantan Kyai NU

KH. Makhrus Ali adalah seorang mantan Kyai NU, begitulah beliau mengenalkan dirinya dalam tulisan-tulisan beliau. Beliau lahir dan bernasab NU di dusun Telogojero desa Sidomukti kecamatan Giri-Gresik Jatim pada tanggal 28 Desember 1957. Sejak lahir hingga usia 40 tahun, beliau telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah ala NU sebagai identitas kultural, keagamaan, basis teologi dan dakwahnya.

Beliau adalah adik dari KH. Mujadi, pimpinan ponpes KH. Mustawa Sepanjang-Sidoarjo, menantu Kyai Imam Hanbali (seorang tokoh NU yang disegani di Waru-Sidoarjo), adik ipar KH. Hasyim Hanbali, pimpinan ponpes Asy-Syafi’iyyah dan juga adik ipar dari KH. Abdullah Ubaid, pengasuh ponpes Manba`ul Qur`an Tambak Sumur, Waru-Sidoarjo.

Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah MI-NU Sidomukti (1970/1971), beliau meneruskan studinya ke ponpes Langitan Tuban-Jatim selama 7 tahun yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Ahmad Marzuqi (mbah Mad) dan KH. Abdullah Faqih. Selama belajar di Langitan, KH. Makhrus Ali sering menjadi bintang kelas dan juara membaca kitab kuning. Bahkan beliau pernah diamanahi untuk mengajar di Langitan selama 2 tahun hingga akhirnya beliau dikirim oleh KH. Abdullah Faqih ke Bangil untuk mengajar di ponpes YAPI yang diasuh oleh Habib Husain Al-Habsyi. Selama di YAPI, beliau dipercaya untuk mengajar materi Nahwu, Sharaf, Fara`idh, Hadits dan tafsir. Beliau juga dipercaya untuk memimpin pondok tersebut bersama ust. Imran (sekarang mengasuh di ponpes Parengan-Lamongan).

Setelah itu beliau melanjutkan studi ke Mekkah, tepatnya di Jama’ah Tahfizhil Qur’an, langsung di bawah bimbingan Syaikh Yasin Al-Banjari, Syaikh Wa’il dan Syaikh Sa’ad bin Ibrahim sambil sesekali ngaji rungon kepada Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani (seorang ulama yang diidolakan dan menjadi panutan Kyai, Habib, Gus dan ulama NU) hingga mengkhatamkan selama 3 tahun.

KH. Makhrus Ali juga berguru kepada Syaikh Yasin Al-Fadani, seorang ahli sanad hadits dan memperoleh ijazah sanad dari beliau untuk ribuan kitab hadits dan fiqih. Selain itu, KH. Makhrus Ali juga belajar kepada Syaikh Husain Abdul Fattah dan Syaikh Abdullah bin Humaid, ketua Qadhi di Saudi Arabia. Beliau juga sempat belajar kepada Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz saat menjabat sebagai ketua Lajnah Daa`imah. Syaikh Bin Baaz adalah seorang ulama mufti yang tuna netra namun paling disegani di Saudi Arabia. KH. Makhrus Ali juga pernah membantu Dr. hikmat Yasin Al-Iraqi untuk menulis Tafsir Ibnu Abi Hatim dan Muhammad bin Ishaq dalam bahasa Arab selama 2 tahun. Beliau juga dipercaya menjadi muadzin sekaligus imam di masjid Al-Husain di Aziziyah-Mekkah selain memberikan cerama agama. Beliau juga menjadi rujukan pertanyaan tentang manasik haji jama’ah haji dari Indonesia di maktab Syaikh Abdul Hamid Mukhtar Sidayu.

Tahun 1987, beliau kembali ke tanah air setelah belajar di Saudi Arabia selama 7 tahun dan mulai terjun di dunia tulis menulis, mengarang buku dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Naskah yang sudah beliau tulis dan terjemahkan sudah amat banyak.

Beliau menikah dengan Hj. Faizah, seorang hafizhah alumni ponpes Nurul Huda Singosari Malang-Jatim, putri dari Kyai Hanbali (seorang tokoh yang disegani di Waru-Sidoarjo yang pernah nyantri langsung kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh ponpes Tebu Ireng Jombang-Jatim).



Masa Lalu Mantan Kyai NU

Sebagaimana pada umumnya kaum tradisionalis NU, kehidupan KH. Makhrus Ali pun bagitu kental dengan tradisi-tradisi yang ada dalam NU, semisal Yasinan, Tahlilan, Istighasahan dan lainnya. Beliau menuturkan, “ Dulu sewaktu saya masih berpendirian antara Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, LDII, Al-Khairiyah, saya selalu memimpin acara tahlilan di tempat saya. Saya anggap acara itu sebagai bacaan dzikir yang baik. Kalau toh tidak sampai kepada mayat, pahalanya juga bisa dimanfaatkan secara pribadi oleh para pembacanya. Hal itu terjadi setelah saya kenal dengan Ust. Habib Husain Al-Habsyi-Bangil (yang sekarang masih berkubang dalam lumpur kesyirikan. Semoga Allah member hidayah kepadanya). Waktu itu saya menjadi salah satu guru di pondok tempatnya mengasuh. Sebelum itu, saya termasuk kolot. Saya selalu mengikuti apa yang diikuti oleh guru-guru saya. Saya termasuk juga hafal Burdah, Barzanji, Tahlilan, Alfiyah, dan Imrithi. Dan banyak kitab kuning yang saya sudah ngelontok (hafal di luar kepala). Waktu itu saya tidak khawatir bila saya mati, saya akan masuk surga. Saya waktu itu menjadi penceramah di kalangan remaja NU di Sidomukti Giri Gresik-Jatim. Saya tidak khawatir lagi bila malaikat maut datang sebab saya ikut agama kakek dan nenek saya.

Ketika saya pulang dari ponpes, saya ikut diba`an. Di ponpes pun saya juga tiap malam Jum’at ikut diba`an dan tahlilan. Saya katakana, saya hafal betul, sampai sekarang kalau ada orang baca diba` keliru, saya masih mengerti kalau dia keliru. Kumpulan saya memang hanya dari kalangan NU. Dan saya mengikuti budaya mereka. Saya tidak mengerti salah, bid’ah, sesat dan kesyirikan dalam amaliah yang saya jalankan. Saya katakan saya tidak tahu. Saya paham ilmu katanya guru.”


Ketika Hidayah Sunnah Menyapa

Menjadi seorang Ahlussunnah adalah impian bagi setiap muslim. Sebab Apa? Karena hanya Ahlussunnah-lah firqah yang benar. Oleh karena itu, kita mendapati setiap kelompok dalam Islam mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah (kecuali Syi’ah). Walaupun secara aqidah dan amaliah mereka tidaklah demikian, tapi justru berlandaskan penyimpangan demi penyimpangan (Syirik, Bid’ah, khurafat dan Tahayul).

Dan inilah yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Ketika hidayah Sunnah menyapa, beliaupun menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau menuturkan, “Sewaktu kyai saya datang ke rumah, ketika saya membaca buku fatawa Mahmud Syaltut, Kyai saya bilang, “Jangan membaca kitab seperti itu!”

Mungkin maksudnya agar saya mengikuti paham salafiyyah ala pesantren NU, dan masih belum waktunya untuk membaca buku seperti itu. Sebab, Syaltut adalah rektor Al-Azhar yang pikirannya terbuka dan memilih yang benar dari beberapa pandangan ulama, tidak terikat kepada salah satu golongan. Saya sudah memegang buku bahasa karangan bahasa Arab karangan rektor Al-Azhar itu ketika usia saya baru 16 tahun.”

Beliau melanjutkan, “Bila saya bertemu dengan kyai, saya mencium tangannya. Saya tidak berani berbicara di mukanya. Memang begitulah budaya santri. Sekarang saya sudah mengerti bahwa para sahabat bila bertemu dengan Rasulullah tidak pernah mencium tangan. Dan saya belum tahu haditsnya dimana para sahabat mencium tangan Rasulullah.”

Selama 40 tahun KH. Makhrus Ali berkubang di dalam tradisi dan amaliah yang bid’ah dan syirik. Namun hidayah datang kepada beliau. Beliau menceritakan keadaan dirinya saat ini, “Sekarang saya sudah bisa mengkaji ilmu dan bisa mencari mana yang benar karena anugerah dari Allah dan rahmat-Nya. Saya pilih mana yang tidak menyimpang dan yang cocok dengan dalil. Saya jadi geleng-geleng kepala ketika mengenang perbuatan saya waktu dulu. Pikir saya, mengapa tidak dari dulu saya ikut aliran Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ah…itu semua tidak bisa diperkirakan.”

KH. Makhrus Ali melanjutkan cerita, “Hati saya berontak dengan ajaran tradisional, tapi mulut saya tidak bisa bicara. Pikiran tidak cocok, tapi mau mendebat tidak punya ilmu. Setelah banyak pengalaman, ilmu saya selalu diluruskan dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Maka ilmu tradisional yang telah mendalam di lubuk hati dan pikiran waktu dahulu, kini terbuang. Entah kemana, mungkin ke recycle bin atau keranjang sampah. Saya yang dulu lain dengan yang sekarang. Ilmu saya dulu ngambang, mengaku benar tapi menurut saya sendiri dan golongan saya. Bila saya mati, saya sudah merasa yakin akan masuk surga menurut pemahaman saya dan golongan saya. Jadi surga-surgaan sebagaimana layaknya orang non-muslim mengaku akan masuk surga. Inilah yang saya khawatirkan.”

“Di saat saya belum berpikir sebagaimana pemikiran Ahli Hadits (yakni Ahlussunnah-pen), ilmu saya hanya taklid, tidak ingin ada pikiran untuk mengkaji suatu hadits atau suatu ajaran dan tidak ada agenda kesana. Atau memang belum mendapatkan pertolongan dan hidayah dari Allah untuk membuang bid’ah, syirik, khurafat, taklid buta, menolak hadits, menolak ajaran “baru” yang benar yang menghapus khurafat dan ajaran sesat dari hati saya”, lanjut beliau.

Beliau menerangkan lagi, “Apalagi menurut Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy atau Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (rahimahumullaah, semuanya adalah nama-nama ulama Ahlusunnah yang tidak dikenal oleh kalangan NU, padahal orang-orang NU mengaku diri mereka sebagai Ahlussunnah-ed), maka saya termasuk penyembah kuburan, suka kebid’ahan dan matinya berbahaya.”

Akhirnya beliau tinggalkan seluruh ritual dan amaliah yang bid’ah dan syirik yang dahulu beliau amalkan ketika masih berpaham NU. Dan sekarang beliau senantiasa mendakwahkan kepada manusia bahwa amalan-amalan yang mayoritasnya diamalkan oleh kaum Nahdhiyin adalah bid’ah dan harus ditinggalkan.

Jalan hidayah tidaklah selalu mulus. Akan ada penghalang dan penentang yang tidak setuju apabila seseorang mengubah keyakinannya yang semula berkubang dengan kebid’ahan dan beralih kepada manhaj Ahlussunnah yang haq. Demikian juga yang dialami oleh KH. Makhrus Ali. Beliau menuturkan, “Sekarang saya ikut aliran ahli hadits(ahlussunnah-ed), disalahkan oleh ibu saya, keluarga saya dan golongan saya dulu. Saya pikir di dunia ini yang penting adalah lurus dan ajaran saya cocok dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan yang jelas harus beda dengan ahli bid’ah.”

Melalui penanya yang tajam, beliau mengkritisi setiap tradisi dan amaliah menyimpang yang banyak dilakukan oleh kaum tradisional. Bukan hanya dari kalangan awwam saja, namun dari para tokoh yang dijunjung tinggi pun masih banyak yang bergelimang dalam kebid’ahan.

Inilah sosok seorang Kyai yang telah kembali kepada ajaran Islam yang murni, Ahlussunnah yang sesungguhnya. Ya, Ahlussunnah. Dinamakan demikian karena Ahlussunnah adalah lawan dari bid’ah dan ahlinya. Kalau ada golongan atau kelompok yang berkubang dalam kebid’ahan namun mereka mengklaim diri mereka sebagai Ahlussunnah, maka klaim itu hanya sebatas klaim dusta.

Kita berdoa kepada Allah agar para kyai yang kini tengah berkubang dalam kebid’ahan mendapatkan hidayah sehingga mereka bisa meninggalkan kebid’ahan mereka, sehingga mereka betul-betul menjadi sosok alim yang faqih yang bisa dijadikan umat sebagai rujukan ilmu dan bisa mewujudkan Al-‘Ulamaa` waratsatul Anbiyaa` (Para ulama adalah pewaris para nabi). Aamiin.





(Ditulis ulang dengan pengeditan dan penambahan seperlunya dari buku “Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighasahan dan Ziarah para Wali” karya KH. Mahrus Ali)

Oleh Al-Faqir Ilallaah Aqil Azizi



Kyai Afrokhi Abdul Ghoni: Dari Ahlul Bid’ah menuju Ahlussunnah (Kisah taubat seorang Kyai NU dari ajaran NU)



“Terus terang, sampai diusia +35 tahun saya ini termasuk Kyai Ahli Bid’ah yang tentunya doyan tawassul kepada mayat atau penghuni kubur, sering juga bertabarruk dengan kubur sang wali atau Kyai. Bahkan sering dipercaya untuk memimpin ziarah Wali Songo dan juga tempat-tempat yang dianggap keramat sekaligus menjadi imam tahlilan, ngalap berkah kubur, marhabanan atau baca barzanji, diba’an, maulidan, haul dan selamatan yang sudah berbau kesyirikan”


“Kita dulu enjoy saja melakukan kesyirikan, mungkin karena belum tahu pengertian tauhid yang sebenarnya”
(Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 90)

“Kita biasa m elakukan ziarah ngalap berkah sekaligus kirim pahala bacaan kepada penghuni kubur/mayit. Sebenarnya, hal tersebut atas dasar kebodohan kita. Bagaimana tidak, contohnya adalah saya sendiri di kala masih berumur 12 tahun sudah mulai melakukan ziarah ngalap berkah dan kirim pahala bacaan, dan waktu itu saya belum tahu ilmu sama sekali, yang ada hanya taklid buta. Saat itu saya hanya melihat banyak orang yang melakukan, dan bahkan banyak juga kyai yang mengamalkannya. Hingga saya menduga dan beranggapan bahwa hal itu adalah suatu kebenaran.” (Kyai Afrokhi dalam Buku Putih Kyai NU hal. 210)



Beliau adalah Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren “Rahmatullah”. Nama beliau tidak hanya dibicarakan oleh teman-teman dari Kediri saja, namun juga banyak diperbincangkan oleh teman-teman pengajian di Surabaya, Gresik, Malang dan Ponorogo.

Keberanian beliau dalam menantang arus budaya para kyai yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang telah berurat berakar dalam lingkungan pesantrennya, sikap penentangan beliau terhadap arus kyai itu bukan berlandaskan apriori belaka, bukan pula didasari oleh rasa kebencian kepada suatu golongan, emosi atau dendam, namun merupakan Kehendak, Hidayah dan Taufiq dari Allah ta’ala.

Kyai Afrokhi hanya sekedar menyampaikan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengatakan yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil. namun, usaha beliau itu dianggap sebagai sebuah makar terhadap ajaran Nahdhatul Ulama (NU), sehingga beliau layak dikeluarkan dari keanggotaan NU secara sepihak tanpa mengklarifikasikan permasalahan itu kepada beliau.

Kyai Afrokhi tidak mengetahui adanya pemecatan dirinya dari keanggotaan NU. Beliau mengetahui hal itu dari para tetangga dan kerabatnya. Seandainya para Kyai, Gus dan Habib itu tidak hanya mengedepankan egonya, kemudian mereka mau bermusyawarah dan mau mendengarkan permasalahan ajaran agama ini, kemudian mempertanyakan kenapa beliau sampai berbuat demikian, beliau tentu bisa menjelaskan permasalahan agama ini dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih yang harus benar-benar diajarkan kepada para santri serta umat pada umumnya.

Seandainya para Kyai itu mau mengkaji kembali ajaran dan tradisi budaya yang berurat berakar yang telah dikritisi dan digugat oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh Kyai Afrokhi sendiri, namun juga dari para ulama tanah haram juga telah menggugat dan mengkritisi penyakit kronis dalam aqidah NU yang telah mengakar mengurat kepada para santri dan masyarakat. Jika mereka itu mau mendengarkan perkataan para ulama itu, tentunya penyakit-penyakit kronis yang ada dalam tubuh NU akan bisa terobati. Aqidah umatnya akan terselamatkan dari penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churofat). Sehingga Kyai-kyai NU, habib, Gus serta asatidznya lebih dewasa jika ada orang yang mau dengan ikhlas menunjukkan kesesatan yang ada dalam ajaran NU dan yang telah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya. Maka, Insya Allah, NU khususnya dan para ‘alim NU pada umumnya akan menjadi barometer keagamaan dan keilmuan. ‘Alimnya yang berbasis kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, yang sesuai dengan misi NU itu sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga para ‘alim serta Kyai yang duduk pada kelembagaannya berhak menyandang predikat sebagai pewaris para Nabi.

Namun sayang, dakwah yang disampaikan oleh Kyai Afrokhi dipandang sebelah mata oleh para Kyai NU setempat. Mereka juga meragukan keloyalan beliau terhadap ajaran NU. Dengan demikian, beliau harus menerima konsekuensi berupa pemecatan dari kepengurusan keanggotaannya sebagai a’wan NU Kandangan, Kediri, sekaligus dikucilkan dari lingkungan para kyai dan lingkungan pesantren. Mereka semua memboikot aktivitas dakwah Kyai Afrokhi.

Walaupun beliau mendapat perlakuan yang demikian, beliau tetap menyikapinya dengan ketenangan jiwa yang nampak terpancar dari dalam dirinya.

Siapakah yang berani menempuh jalan seperti jalan yang ditempuh oleh Kyai Afrokhi, yang penuh cobaan dan cobaan? Atau Kyai mana yang ingin senasib dengan beliau yang tiba-tiba dikucilkan oleh komunitasnya karena meninggalkan ajaran-ajaran tradisi yang tidak sesuai dengan syari’at Islam yang haq? Kalau bukan karena panggilan iman, kalau bukan karena pertolongan dari Allah niscaya kita tidak akan mampu.

Kyai Afrokhi adalah sosok yang kuat. Beliau menentang arus orang-orang yang bergelar sama dengan gelar beliau. yakni Kyai. Di saat banyak para Kyai yang bergelimang dalam kesyirikan, kebid’ahan dan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang haq, di saat itulah beliau tersadar dan menantang arus yang ada. Itulah jalan hidup yang penuh cobaan dan ujian.

Bagi Kyai Afrokhi untuk apa kewibawaan dan penghormatan tersandang, harta melimpah serta jabatan terpikul, namun murka Allah dekat dengannya, dan Allah tidak akan menolongnya di hari tidak bermanfaat harta dan anak-anak. Beliau lebih memilih jalan keselamatan dengan meninggalkan tradisi yang selama ini beliau gandrungi.

Inilah fenomena kyai yang telah bertaubat kepada Allah dari ajaran-ajaran syirik, bid’ah dan kufur. Walaupun Kyai Afrokhi ditinggalkan oleh para kyai ahli bid’ah, jama’ah serta santri beliau, ketegaran dan ketenangan beliau dalam menghadapi realita hidup begitu nampak dalam perilakunya. Dengan tawadhu’ serta penuh tawakkal kepada Allah, beliau mampu mengatasi permasalahan hidup.

Pernyataan taubat Kyai Afrokhi:

“Untuk itulah buku ini saya susun sebagai koreksi total atas kekeliruan yang saya amalkan dan sekaligus merupakan permohonan maaf saya kepada warga Nahdhatul Ulama (NU) dimanapun berada yang merasa saya sesatkan dalam kebid’ahan Marhabanan, baca barzanji atau diba’an, maulidan, haul dan selamatan dari alif sampai ya` yang sudah berbau kesyirikan dan juga sebagai wujud pertaubatan saya. Semoga Allah senantiasa menerima taubat dan mengampuni segala dosa-dosa saya yang lalu (Amin ya robbal ‘alamin)”

(Dinukil dan diketik ulang dengan gubahan seperlunya dari buku “Buku Putih Kyai NU” oleh Kyai Afrokhi Abdul Ghoni, Pendiri dan Pengasuh Ponpes Rohmatulloh-Kediri-, mantan A’wan Syuriah MWC NU Kandangan Kediri)

catatan: Note ini ditulis hanya semata-mata sebagai nasehat, bukan karena ada alasan sentimen atau kebencian terhadap sebuah kelompok. Silahkan nukil dan share serta pergunakan untuk kebutuhan dakwah ilalloh.

Nb: Bagi yang mau mendapatkan buku karangan beliau tersebut, berikut keterangannya:

Judul : Buku Putih Kyai NU

Penulis : Kyai Afrokhi Abdul Ghoni

Ukuran buku : 14,5 cm x 20 cm

Tebal : 338

halaman Sampul Depan : Soft Cover

Penerbit : Laa Tasyuk! Press – Surabaya

ISBN : 978-979-16438-4-9

Harga : Rp 49.500,-



-Abu Shofiyah Aqil Azizi-



Teruntuk Para Pemuja Tuhan Sembilan Senti (MARI MERENUNG SEJENAK)


MARI BERHITUNG

Jika satu batang rokok memiliki panjang sembilan senti, coba bayangkan jika seseorang setiap harinya mengkonsumsi “hanya” satu pack rokok. Itu artinya dia menghisap rokok 9cm x 12 =108 cm asap/hari.

Coba ukur jika panjang umur merokoknya adalah 1 bulan, berarti 108cm x 30 = 3.240 cm/bulan panjang rokok yang ia hisap.

Bayangkan lagi jika umur merokoknya adalah 1 tahun, berarti 3.240 cm x 12 bln = 38.880 cm/ tahun.

Bayangkan lagi jika umur merokoknya adalah 10 tahun, maka 38.880 cm x 10 = 388.800cm/10 tahun.

Bayangkan lagi jika panjang umur rokoknya adalah 50 tahun, maka 388.800 cm x 5 = 1.944.000 cm/50 tahun (atau 194.400 m = 194,4 KM).

Subhanalloh, pernahkah kita membayangkan begitu panjangnya jarak yang bisa ditempuh oleh sebuah kendaraan bermotor dengan jarak sepanjang itu? Itu jika seseorang “hanya” menghabiskan 1 pack rokok/hari. Bagaimana dengan orang-orang yang bisa menghabiskan 2 pack. 3 pack dan seterusnya?

Bayangkan lagi: Jika setiap 1 pack rokok bernilai Rp. 6.000,-. maka dalam sebulan dia bisa mengeluarkan biaya Rp. 6.000 x 30 = Rp. 180.000/ bulan.

Bagaimana kalau setahun? Maka ia bisa mengeluarkan Rp. 180.000,- x 12 = Rp. 2.160.000,-/tahun.

Bagaimana jika dalam waktu 10 tahun? maka Rp. 2.160.000,- x 10 = Rp. 21.600.000,-/ 10 tahun.

Bagaimana dengan 50 tahun? maka Rp. 21.600.000,- x 5 = Rp. 108.000.000,-/50 tahun…!!! Bayangkan sebuah nilai rupiah yg sangat besar!!!

Cukup untuk memberangkatkan 3 orang jema’ah Haji untuk menyelenggarakan ibadah tersebut dengan mengikuti tarif reguler. Itu untuk satu orang saja, lalu bagaimana jika yang merokok adalah 10 orang? 100 orang? 1.000 orang? 10.000 orang? 100.000 orang? 1.000.000 orang? 10.000.000 orang perokok?

Baiklah, kita ambil saja nilai 1 tahun/10 juta orang, maka Rp. 2.160.000,- x 10.000.000 orang = Rp. 216.000.000.000.000,-/tahun oleh 10.000.000 orang perokok. Sungguh sebuah nilai rupiah yang hilang sia-sia yang jika digunakan untuk pembangunan sebuah negara, maka negara itu tidak lagi memerlukan bantuan dari luar negeri.

Seringkali kita melihat dan mendengar keluhan masyarakat akan himpitan ekonomi, tapi pernahkah kita melihat nilai uang yang disia-siakan terbakar tanpa manfaat?

Seringkali kita melihat saudara-saudara kita yang berdemo, mengadakan aksi damai atau apalah namanya (karena hakikatnya adalah SAMA) yang meneriakkan agar pemerintah mengentas kemiskinan rakyat, tapi sadarkah kita tentang perbuatan rakyat sendiri yang membakar uang mereka sendiri untuk melakukan pemujaan terhadap tuhan sembilan senti mereka? Bahkan mungkin juga ada diantara pendemo itu yang juga merupakan bagian dari para pemuja tuhan sembilan senti itu sendiri? Namun mereka tidak sadar akan hal ini. Ironis memang…

Maka tidaklah heran jika Islam dengan syari’atnya yang mulia telah mengharamkan rokok, walaupun ada sebagian yang meyakininya sebatas makruh saja hukumnya… OK lah, kita terima pendapat yang mengatakan makruh. Mari saya ajak anda semua berpikir.

Kita kembali kepada definisi makruh. Makruh adalah sebuah hukum yang jika seseorang melakukannya, maka ia mendapatkan kemarahan Allah. Karena makruh artinya sesuatu yang dibenci. Pertanyaan saya adalah, apakah kita akan senantiasa melakukan hal-hal yang dibenci oleh Alloh? Bahkan kita melakukannya selama 10 tahun, misalnya? Bukankah ini sebuah kedurhakaan, yakni senantiasa melakukan sesuatu hal yang dibenci oleh Allah selama 10 tahun? Bukankah Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa kita harus beramal dengan amalan yang menjadi sebab bagi kita untuk memperoleh ridho Alloh? Pernahkah Alloh menyuruh kita untuk mengamalkan sesuatu yang dibenci-Nya?

Badan Kesehatan Dunia milik Kuffar saja ‘Mengharamkan’, Kenapa Kita Tidak?

WHO (World Health Organization) atau Badan Kesehatan Dunia telah mengharamkan rokok. WHO menjelaskan bahwa rokok merupakan salah satu sebab utama kematian terbesar di dunia. WHO memperkirakan ada sekitar 5,4 juta kematian di tahun 2004 dan 100 juta kematian selama abad 20.

Asap rokok mengandung 4.000 bahan kimia beracun seperti nikotin, CO, NO, HCN, NH4, acrolein, acetilen, benzaldehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin,etilkathenol, otokersol dan zat racun lainnya. Selain komponen gas, ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen penyebab kanker sedangkan nikotin merupakan zat adiktif yang menimbulkan kecanduan.

Maka, kapankah anda mengharamkan rokok karena Alloh azza wa jalla dan Rasul-Nya? Wallohua’lam bish-showab…

Ditulis oleh Aqil Azizi



Jumat, 01 April 2011

Cuplikan Berita Dari Beberapa Blog Admin






Istiwa’ Bersemayam diatas Arsy (Pandangan Al-Imam Abul Hasan Asl-Asy’ary dalam kitab Al-Ibaanah An-Ushulid Diyanah)

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ary [semoga Alloh merahmati beliau] berkata didalam kitabnya Al-Ibaanah An-Ushulid Diyanah pada Bab ‘Istiwa’ ‘Alal ‘Arsy :
Jika seseorang berkata :
“Bagaimana pendapat kalian tentang Istiwa’ (bersemayamnya Alloh diatas Asrys?”
Dikatakan kepadanya :
“Sesungguhnya Alloh bersemayam diatas Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya tanpa menetap seterusnya sebagaimana firman Alloh :
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah yang bersemayam diatas ‘Arsy”
[Qs. Thaahaa : 5]



Mencintai Saudara Seiman Termasuk Kesempurnaan Iman

Mencintai Saudara Seiman Termasuk Kesempurnaan Iman

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْل الله عَنْ النَّبِي قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”.



Abu Hurairoh dihujat Syi'ah, Tapi Ternyata Malah Dipakai di Kitab-kitab Syi'ah

Abu Hurairoh Dihujat Syi’ah Tapi Dipakai Dalam Kitab-Kitab Syi’ah!!??

Abu Hurairah terus dihujat. Ternyata hadits-hadits Abu Hurairah yang dihujat tercantum dalam literatur Syi’ah. Bagaimana itu bisa terjadi? Semua bisa terjadi untuk menghujat Ahlus Sunnah dan sahabat Nabi.
Sering kita lihat tulisan-tulisan Syi’ah yang menghujat Ahlus Sunnah, mengemukakan hadits-hadits yang katanya tidak masuk akal, dan berlawanan dengan Al-Qur’an. Hadits-hadits itu berasal dari riwayat Abu Hurairah.
Dipilihnya Abu Hurairah sebagai target bidikan bukanlah tanpa alasan. Kita ketahui, Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits. Artinya, ketika legitimasi Abu Hurairah jatuh, maka legitimasi sunnah Nabi pun jatuh juga. Sunnah Nabi di sini bukan hanya sekedar text dari hadits, tapi seluruh perangkat yang terkait, seperti para perawi dan ulama hadits, otomatis gugur juga.



Status Ayah dan Ibu Rasulullah, Muslim atau Kafir?



Assalamu ‘alaikum Warohmatullah. Wabarokatuh.
 
Beberapa hari lalu ada seorang kawan yang ikut satu jama’ah dakwah mendatangi saya. Dia membawakan keterangan bahwa Ayah dan Ibu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah muslim. Bahkan ia mengatakan, orang yang meyakini keduanya meninggal sebagai musyrik dan kafir terancam akidahnya, dia bisa kafir. Mohon penjelasan tentang status kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Pak Yono – Bekasi Utara

                 Jawab : 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Kedua orang tua Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bernama Abdullah dan Aminah. Keduanya meninggal sebagai musyrik sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilarang memintakan ampun dan memohonkan rahmat untuk keduanya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang yang ada di sekitar beliau-pun ikut menangis. Karenanya beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Rabb-ku untuk saya beristighfar (memintakan ampun) baginya, namun Dia tidak mengizinkan. Dan aku meminta izin untuk menziarahi (mengunjungi) kuburnya, maka Dia mengizinkan untukku. Karenanya, lakukan ziarah kubur, sebab hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.”
Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari hadits Ibnu Mas’ud bahwa kisah ini menjadi sebab turunnya firman Allah,
 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. Al-Taubah: 113) dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengutarakan bahwa kesedihan ini merupakan naluri sayang seorang anak terhadap orang tuanya. (Lihat: Al-Hakim dalam Mustadrak: 2/336 beliau mengatakan, “Shahih sesuai syarat keduanya –Bukhari dan Muslim-; Al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah: 1/189)
Dan terdapat tambahan keterangan dalam al-Mu’jam al-Kabir milik al-Thabrani rahimahullaah, bahwa Jibril 'alaihis salam berkata kepada beliau,
فَتَبَرَّأَ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ
Berlepas dirilah engkau dari ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari bapaknya.” (Lihat juga Tafsir Ibni Katsir dalam menafsirkan QS. Al-Taubah: 113-114)
Maka sangat jelas status Aminah (ibunda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), meninggal di luar Islam dan berada di neraka.



Tasyabuh bil Kuffar ala April Mop

بسم الله الرحمن الرحي
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’alamencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Sejarah mencatat, kehidupan ummat manusia sebelum diutusnya Rasulullah sangatlah jauh dari petunjuk Ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliyyah.
Ketika kehidupan ummat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan ummat manusia dari jurang kejahiliyyahan yang gelap gulita menuju kehidupan Islami yang terang benderang.
Beliau tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebathilan. Sehingga benar-benar terasa bahwa kenabian dan apa yang beliau bawa merupakan barakah dan rahmat bagi semesta alam. 
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiyaa`:107)
Oleh karena itu, Allah telah menobatkan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi ummat manusia, dan Allah perintahkan seluruh ummat manusia untuk mengikutinya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian.”(Al-Ahzaab:21)


“Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raaf:158)
Lebih dari itu, Allah mengancam orang-orang yang menentangnya dan menyalahi perintahnya.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa`:115)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa ‘adzab yang pedih.” (An-Nuur:63)



TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM



بسم الله الرحمن الرحيم
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’alamencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger