Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang telah hilang dari dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ; Dimana Allah ? Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! :
1. Allah ada pada diri kita ini ..!
2. Allah dimana-mana di segala tempat !
Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu’tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid’ah.
Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :
Artinya :
“Beliau bertanya kepadanya : “Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : “Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : “Siapakah Aku ..?”. Jawab budak itu : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”.
Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :
1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
2. Imam Muslim (2/70-71)
3. Imam Abu Dawud (No. 930-931)
4. Imam Nasa’i (3/13-14)
5. Imam Ahmad (5/447, 448-449)
6. Imam Daarimi 91/353-354)
7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya “Al-Muntaqa” (No. 212)
9. Imam Baihaqy di Kitabnya “Sunanul Kubra” (2/249-250)
10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya “Tauhid” (hal. 121-122)
11. Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
12. Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya “As-Sunnah ” (No. 652).
PEMBAHASAN
Pertama
Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid’ah dari kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ; dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary, yaitu ; mereka mempunyai i’tiqad (berpendapat) :
“ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?”
Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya !?.
Jawablah kepada mereka dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Artinya :
“Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar” (An-Nur : 16)
“Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan ” (Al-Mu’minun : 91)
“Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar”. (Al-Isra : 43)
Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
Artinya :
“Dan demikian ra’yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : “Dimana Allah ? “Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SAW”.
Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah (hal: 39): “Di dalam hadits Rasulullah SAW ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu’min”.
Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SAW (kepada budak perempuan): “Dimana Allah ?”. Mendustakan perkataan orang yang mengatakan : “Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan (pertanyaan) : Dimana .?
Kedua
Lafadz ‘As-Samaa” menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :
Artinya :
“(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah”.
Dinamakan “Awan” itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :
“Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)” (Al-Baqarah : 22).
Adapun huruf “Fii” dalam lafadz hadits “Fiis-Samaa” bermakna ” ‘Alaa” seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Artinya :
“Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi” (At-Taubah : 2)
“Mereka tersesat di muka bumi” (Al-Maa’idah : 26)
Lafadz “Fil Arldhii” dalam dua ayat diatas maknanya ” ‘Alal Arldhii”, Maksudnya : Allah ‘Azza wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun mahluk menyerupai-Nya.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Artinya :
“Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan) Maha Melihat”. (As-Syura : 4)
“Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 4)
“Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (bersemayam)”. (Thaha : 5)
“Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.(Al-A’raf :54).
Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah ‘Azza wa Jalla ISTIWAA diatas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Mereka tidak menta’wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan “Allah istiwaa di atas ‘Arsy” itu maknanya : Allah menguasai ‘Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?… Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).
Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai ‘Arsy. Ia menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan mahluk). Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas ‘Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur’an. Dan semuanya dengan lafadz “istawaa”. Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat, bukan “istawla” dengan jalan menta’wilnya.
Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya.
Artinya :
“Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istawaa” (Thaha : 5)
“Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.
Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :
1. Surat Al-A’raf ayat 54
2. Surat Yunus ayat 3
3. Surat Ar-Ra’du ayat 2
4. Surat Al-Furqaan ayat 59
5. Surat As-Sajdah ayat 4
6. Surat Al-Hadid ayat 4
Menurut lughoh/bahasa, apabila fi’il istiwaa dimuta’adikan oleh huruf ‘Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
Artinya :
“Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi” (Hud : 44).
Di ayat ini fi’il “istawaa” dimuta’addikan oleh huruf ‘Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa “Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi” yakni menta’wil lafadz “istawat” dengan lafadz “istawlat” yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13).
Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas).
Artinya :
“Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya :
“Ia berada tinggi di atas “Arsy”
(Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya “At-Tauhid” (hal: 101):
Artinya :
“Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A’laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi) sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya. Kami tidak akan mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan “Sesungguhnya Ia (Allah) istawla (menguasai) ‘Arsy-Nya tidak istawaa!”. Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan : “Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)” Tetapi mereka mengucapkan : “Hinthah (gandum).?”. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah”.
Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai ‘Arsy sedangkan Dzat Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum Jahmiyyah !
Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas ‘Arsy-Nya tanpa :
1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.
2. Ta’wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
3. Ta’thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara keseluruhannya.
4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?
Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya :
“Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :
Artinya :
“Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid’ah”.
(baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46)
Perhatikan !
1. ‘Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas :
Artinya :
“Dan ‘Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya”.
Berkata Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat (terpercaya).
Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid”).
2. Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas ‘Arsy- tidak tergantung kepada ‘Arsy. Bahkan sekalian mahluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :
“Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (Al-Ankabut : 6) Yakni : Allah tidak berkeperluan kepada sekalian mahluk”.
Ketiga
Penunjukan Beberapa Dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang Shahih
Firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :
“Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?” (Al-Mulk : 16)
“Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit bahwa Ia akan mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan mengetahui bagaimana ancaman-Ku”. (Al-Mulk : 17).
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -setelah membawakan dua ayat di atas di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 115).
Artinya :
“Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu ; apa yang ada diantara keduanya sesungguhnya Ia di atas langit”.
Berkata Imam Abul Hasan Al-Asy’ary di kitabnya “Al-Ibanah Fi Ushulid-diayaanah hal : 48) setelah membawakan ayat di atas : “Di atas langit-langit itu adalah ‘Arsy, maka tatkala ‘Arsy berada di atas langit-langit. Ia berfirman : “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit ?” Karena sesungguhnya Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy yang berada di atas langit, dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan ‘As-Samaa” (langit), maka ‘Arsy berada di atas langit. Bukankah yang dimaksud apabila Ia berfirman : “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang diatas langit ?” yakni seluruh langit ! Tetapi yang Ia kehendaki adalah ‘Arsy yang berada di atas langit”.
Saya berpandangan (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dua ayat di atas sangat tegas sekali yang tidak dapat dibantah dan ta’wil bahwa lafadz “MAN” tidak mungkin difahami selain dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan Malaikat-Nya sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengannya, yang telah merubah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Bukankah dlamir (kata ganti) pada fi’il (kata kerja) “yakhtsif” (Ia menenggelamkan) dan “yartsil” (Ia mengirim) adalah “huwa” (Dia) ? siapakah Dia itu kalau bukan Allah ‘Azza wa Jalla.
Firman Allah :
Artinya :
“Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”. (An-Nahl : 50).
Ayat ini tegas sekali menyatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas bukan di mana-mana tempat. Karena lafadz “fawqo” (di atas) apabila di majrur dengan huruf “min” dalam bahasa Arab menunjukan akan ketinggian tempat. Dan tidak dapat di ta’wil dengan ketinggian martabat, sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Alangkah zhalimnya mereka ini yang selalu merubah-rubah firman Tuhan kita Allah Jalla Jalaa Luhu.
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 111): “Tidaklah kalian mendengar firman pencipta kita ‘Azza wa Jalla yang mensifatkan diri-Nya.
Artinya :
“Dan Dialah (Allah) yang Maha Kuasa di atas hamba-hamba-Nya”. (Al-An’am : 18 & 61).
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya tersebut : “Tidakkah kalian mendengar wahai penuntut ilmu. Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala kepada Isa bin Maryam :
Artinya :
“Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku” (Ali Imran : 55)
Ibnu Khuzaimah menerangkan : Bukankah “mengangkat” sesuatu itu dari bawah ke atas (ke tempat yang tinggi) tidak dari atas ke bawah!. Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla.
Artinya :
“Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya” (An-Nisa’ : 158).
Karena “Ar-raf’ah” = mengangkat dalam bahasa Arab yang dengan bahasa mereka kita diajas berbicara (yakni Al-Qur’an) dalam bahasa Arab yang hanya dapat diartikan dari bawah ke tempat yang tinggi dan di atas” (kitab At-Tauhid : 111).
Sekarang dengarlah wahai orang yang berakal, kisah Fir’aun bersama Nabi Allah Musa ‘Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir’aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit :
Artinya :
“Dan berkata Fir’aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta”. (Al-Mu’min : 36-37. Al-Qashash : 38).
Perhatikanlah wahai orang yang berakal!. Perintah Fir’aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta’ala- berada di atas langit-.
Kalau tidak demikian, yakni misalnya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat -sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah- tentu Fir’aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan mengerahkan bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya: “Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !”. Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit.
Perhatikanlah, wahai orang yang berakal !. Keadaan Fir’aun yang mendustakan Nabi Musa dengan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka yang telah merubah firman Allah dengan mengatakan : Allah ada di segala tempat !.
Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanlah hasil dari pikiran saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya :
1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid” (hal : 114-115) diantara keterangannya : “Perkataan Fir’aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir’aun :” Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas”.
2. Berkata Imam Al-Asy’ary setelah membawakan ayat di atas : “Fir’aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit” (Al-Ibanah : 48).
3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya “Raddu ‘Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : ” Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir’aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi”.
4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya “Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A’imah ” (hal : 15) : “Bahwasanya Fir’aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Musa AS menerangkan bahwa Tuhannya berada di atas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : “Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta” yakni tentang perkataan Musa : Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan”.
5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya : “Berkata Fir’aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit”. Kemudian beliau menerangkan : “Kalau sekiranya Musa mengatakan : “Sesungguhnya Allah berada di tiap-tiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir’aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir’aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi”. (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73).
6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : “Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir’aun) : “Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir’aun menuduhnya berdusta”. (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80).
7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya “An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa ‘Alaa” (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : “Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir’aun berkata : “Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta”.
Demikianlah penjelasan dari tujuh Imam besar di dalam Islam tentang ayat di atas, selain masih banyak lagi yang kesimpulannya: “Bahwa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit di atas ‘Arsy-Nya, Ia istiwaa (bersemayam) yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, adalah; sunnahnya Fir’aun”. Na’udzu billah !!.
Sampai disini pembahasan beberapa dalil dari kitab Allah -salain masih banyak lagi- yang cukup untuk diambil pelajaran bagi mereka yang ingin mempelajarinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya :
“Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !” (Al-Hasyr : 2).
Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi SAW banyak sekali. Di bawah ini akan disebutkan beberapa diantaranya :
Nabi kita SAW telah bersabda :
Artinya :
“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih dikitabnya “Silsilah Shahihah No. 925″.
“Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang di muka bumi, niscaya tidak akan disayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Mu’jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 83 diringkas oleh Al-Albani) mengatakan : Rawi-rawinya tsiqaat/kepercayaan).
“Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya “.(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah).
Keterangan :
“Dzat yang di atas langit yakni Allah ‘Azza wa Jalla (perhatikan empat hadits diatas)”.
“Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : “Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku ? Mereka menjawab : “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll).
Keterangan :
“Sabda Nabi SAW : “Kemudian NAIK Malaikat-malaikat yang bermalam …dst” Menunjukan bahwa Pencipta itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas. Hal ini juga menunjukkan betapa rusaknya pikiran dan fitrahnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Pencipta kita, tidak berada di atas tetapi di segala tempat ? Maha Suci Allah ! Dan Maha Tinggi Allah dari segala ucapan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka !.
“Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi SAW di padang ‘Arafah : “(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi SAW mengangkat jari telunjuknya ke arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo’a) : “Ya Allah saksikanlah ! Ya Allah saksikanlah ! ( Riwayat Imam Muslim 4/41).
Sungguh hadits ini merupakan tamparan yang pedas di muka-muka kaum Ahlul Bid’ah yang selalu melarang kaum muslimin merisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata : Kami khawatir orang-orang akan mempunyai i’tiqad bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit ! Padahal Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?.
Demikianlah kekhawatiran yang dimaksudkan syaithan ke dalam hati ketua-ketua mereka. Yang pada hakekatnya mereka ini telah membodohi Nabi SAW yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.
Perhatikanlah perkataan mereka : “Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?”
Perhatikanlah ! Adakah akal yang shahih dan fitrah yang bersih dapat menerima dan mengerti perkataan di atas !?.
Mereka mengatakan Allah tidak bertempat karena akan menyerupai dengan mahluk-Nya. Tetapi pada saat yang sama mereka tetapkan bahwa Allah berada di segala tempat atau di mana-mana tempat !?.
Ya Subhanallah !
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas (ia berkata) : ” Bahwa Rasulullah SAW berkhotbah kepada manusia pada hari Nahr (tgl. 10 Zulhijah) -kemudian Ibnu Abbas menyebutkan khotbah Nabi SAW- kemudian beliau mengangkat kepalanya (ke langit) sambil mengucapkan : Ya Allah bukankah Aku telah menyampaikan ! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan !. (Riwayat Imam Bukhari Juz 2 hal : 191).
Perhatikan wahai orang yang berakal ! Perbuatan Rasulullah SAW mengangkat kepalanya ke langit mengucapkan : Ya Allah !.
Rasulullah SAW menyeru kepada Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy di atas sekalian mahluk-Nya. Kemudian perhatikanlah kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada di segala tempat, di bawah mahluk, di jalan-jalan, di tempat-tempat yang kotor, dan di perut-perut hewan !?
Maha Suci Allah ! Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sama dengan mereka !.
Artinya :
“Dari Aisyah, ia berkata : “Nabi SAW mengangkat kepalanya ke langit. (Riwayat Imam Bukhari 7/122).
Keempat
Keterangan Para Sahabat Nabi SAW, dan Ulama-Ulama Islam.
Adapun keterangan dari para sahabat Nabi SAW, dan Imam-imam kita serta para Ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali, yang tidak mungkin kami turunkan satu persatu dalam risalah kecil ini, kecuali beberapa diantaranya.
1. Umar bin Khatab pernah mengatakan :
Artinya :
“Hanyasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini”. Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit ” [Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)].
2. Ibnu Mas’ud berkata : Artinya : “‘Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”.
Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” No. 8987. dan lain-lain Imam.
Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya (beliau meringkas dan mentakhrij hadits ini di kitab Al-Uluw).
Tentang ‘Arsy Allah di atas air ada firman Allah ‘Azza wa Jalla.
“Dan adalah ‘Arsy-Nya itu di atas air” (Hud : 7)
3. Anas bin Malik menerangkan :
Artinya :
“Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi SAW, ia berkata : “Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta’ala dari ATAS TUJUH LANGIT”.
Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan :
“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit”. (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176). Yakni perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsyin langsung Allah Ta’ala yang menikahinya dari atas ‘Arsy-Nya.
Firman Allah di dalam surat Al-Ahzab : 37
“Kami kawinkan engkau dengannya (yakni Zainab)”.
4. Imam Abu Hanifah berkata :
Artinya :
“Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir”.
Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan “aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi”. Berkata Imam Abu Hanifah : “Sesungguhnya dia telah ‘Kafir !”.
Karena Allah telah berfirman : “Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa”. Yakni : Abu Hanifah telah mengkafirkan orang yang mengingkari atau tidak tahu bahwa Allah istiwaa diatas ‘Arsy-Nya.
5. Imam Malik bin Anas telah berkata :
Artinya :
“Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya”.
6. Imam Asy-Syafi’iy telah berkata :
Artinya :
“Dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya”
7. Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : “Allah di atas tujuh langit diatas ‘Arsy-Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat.?
Jawab Imam Ahmad :
Artinya :
“Benar ! Allah di atas ‘Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-nya”.
8. Imam Ali bin Madini pernah ditanya : “Apa perkataan Ahlul Jannah ?”.
Beliau menjawab :
Artinya :
“Mereka beriman dengan ru’yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus bagi kaum mu’minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa”.
9. Imam Tirmidzi telah berkata :
Artinya :
“Telah berkata ahli ilmu : “Dan Ia (Allah) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-Nya”.
(Baca : “Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51, 52, 53, 54 dan 57).
10. Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- :
Artinya :
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”.
(Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).
11. Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- :
“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta’wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy. Dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?” (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).
Yakni : Kita wajib beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala istiwaa di atas ‘Arsy-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas sekalian mahluk-Nya. Tetapi wajib bagi kita meniadakan pertanyaan : “Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?”. Karena yang demikian tidak dapat kita mengerti sebagaimana telah diterangkan oleh Imam Malik dan lain-lain Imam. Allah istiwaa sesuai dengan kebesaran-Nya tidak serupa dengan istiwaanya mahluk sebagaimana kita meniadakan pertanyaan : Bagaimana Dzatnya Allah ?.
Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia, di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada beliau dengan “tawasul”, tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepas diri dari qaum musyrikin tersebut.
Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un !!.
Kelima
Kesimpulan
Hadits Jariyah (budak perempuan) ini bersama hadits-hadits yang lain yang sangat banyak dan berpuluh-puluh ayat Al-Qur’an dengan tegas dan terang menyatakan : “Sesungguhnya Pencipta kita Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya”. Maha Suci Allah dari menyerupai mahluk-Nya.!.
Dan Maha Suci Allah dari ta’wilnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada dimana-mana tempat !??.
Dapatlah kami simpulkan sebagai berikut :
1. Sesungguhnya bertanya dengan pertanyaan : “Dimana Allah ?, disyariatkan dan penanya telah mengikuti Rasulullah SAW.
2. Wajib menjawab : “Sesungguhnya Allah di atas langit atau di atas ‘Arsy”. Karena yang dimaksud di atas langit adalah di atas ‘Arsy. Jawaban ini membuktikan keimanannya sebagai mu’min atau mu’minah. Sebagaimana Nabi SAW, telah menyatakan keimanan budak perempuan, karena jawabannya : Allah di atas langit !.
3. Wajib mengi’tiqadkan sesungguhnya Allah di atas langit, yakni di atas ‘Arsy-Nya.
4. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir.
5. Barangsiapa yang tidak membolehkan bertanya : Dimana Allah ? maka sesungguhnya ia telah menjadikan dirinya lebih pandai dari Rasulullah SAW, bahkan lebih pandai dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzu billah.
6. Barangsiapa yang tidak menjawab : Sesungguhnya Allah di atas langit, maka bukanlah ia seorang mukmin atau mukminah.
7. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa bertanya :”Dimana Allah ?” akan menyerupakan Allah dengan mahluk-nya, maka sesunguhnya ia telah menuduh Rasulullah SAW jahil/bodoh !. Na’udzu billah !
8. Barangsiapa yang mempunyai iti’qad bahwa Allah berada dimana-mana tempat, maka sesunguhnya ia telah kafir.
9. Barangsiapa yang tidak mengetahui dimana Tuhannya, maka bukankah ia penyembah Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ia menyembah kepada “sesuatu yang tidak ada”.
10. Ketahuilah ! Bahwa sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit, yakni di atas ‘Arsy-Nya di atas sekalian mahluk-Nya, telah setuju dengan dalil naqli dan aqli serta fitrah manusia. Adapun dalil naqli, telah datang berpuluh ayat Al-Qur’an dan hadits yang mencapai derajat mutawatir. Demikian juga keterangan Imam-imam dan Ulama-ulama Islam, bahkan telah terjadi ijma’ diantara mereka kecuali kaum ahlul bid’ah. Sedangkan dalil aqli yang sederhanapun akan menolak jika dikatakan bahwa Allah berada di segala tempat !. Adapun fitrah manusia, maka lihatlah jika manusia -baik muslim atau kafir- berdo’a khususnya apabila mereka terkena musibah, mereka angkat kepala-kepala mereka ke langit sambil mengucapkan ‘Ya … Tuhan..!. Manusia dengan fitrahnya mengetahui bahwa penciptanya berada di tempat yang tinggi, di atas sekalian mahluk-Nya yakni di atas ‘Arsy-Nya. Bahkan fitrah ini terdapat juga pada hewan dan tidak ada yang mengingkari fitrah ini kecuali orang yang telah rusak fitrahnya.
Tambahan
Sebagian ikhwan telah bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tentang ayat :
Artinya :
“Dan Dia-lah Allah di langit dan di bumi, Dia mengetahui rahasia kamu dan yang kamu nyatakan, dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan “. (Al-An’am : 3)
Saya jawab : Ahli tafsir telah sepakat sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir mengingkari kaum Jahmiyyah yang membawakan ayat ini untuk mengatakan :
“Innahu Fii Qulli Makaan”
“Sesungguhnya Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat !”.
Maha Suci Allah dari perkataan kaum Jahmiyyah ini !
Adapun maksud ayat ini ialah :
1. Dialah yang dipanggil (diseru/disebut) Allah di langit dan di bumi.
2. Yakni : Dialah yang disembah dan ditauhidkan (diesakan) dan ditetapkan bagi-Nya Ilaahiyyah (Ketuhanan) oleh mahluk yang di langit dan mahluk yang di bumi, kecuali mereka yang kafir dari golongan Jin dan manusia.
Ayat tersebut seperti juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artinya :
“Dan Dia-lah yang di langit (sebagai) Tuhan, dan di bumi (sebagai) Tuhan, dan Dia Maha Bijaksana (dan) Maha mengetahui”. (Az-Zukhruf : 84)
Yakni : Dia-lah Allah Tuhan bagi mahluk yang di langit dan bagi mahluk yang di bumi dan Ia disembah oleh penghuni keduanya. (baca : Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 123 dan Juz 4 hal 136).
Bukanlah dua ayat di atas maksudnya : Allah ada di langit dan di bumi atau berada di segala tempat!. Sebagaimana ta’wilnya kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Atau perkataan orang-orang yang “diam” Tidak tahu Allah ada di mana !.
Mereka selain telah menyalahi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta keterangan para sahabat dan Imam-imam Islam seluruhnya, juga bodoh terhadap bahasa Arab yang dengan bahasa Arab yang terang Al-Quran ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Abu Abdillah Al-Muhasiby dalam keterangan ayat di atas (Az-Zukhruf : 84) menerangkan : “Yakni Tuhan bagi penduduk langit dan Tuhan bagi penduduk bumi. Dan yang demikian terdapat di dalam bahasa, (umpamanya ) engkau berkata : “Si Fulan penguasa di (negeri) Khirasan, dan di Balkh, dan di Samarqand”, padahal ia berada di satu tempat”. Yakni : Tidak berarti ia berada di tiga tempat meskipun ia menguasai ketiga negeri tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia, umpamanya kita berkata “Si Fulan penguasa di Jakarta, dan penguasa di Bogor, dan penguasa di Bandung”. Sedangkan ia berada di satu tempat.
Bagi Allah ada perumpamaan/misal yang lebih tinggi (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 73).
Adapun orang yang “diam” (tawaqquf) dengan mengatakan : “Kami tidak tahu Dzat Allah di atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang telah memelihara kebodohan !. Allah Rabbul ‘Alamin telah sifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat ini, yang salah satunya bahwa Ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “kita tidak tahu” nyata telah berpaling dari maksud Allah. Pantaslah kalau Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, sama seperti orang yang menta’wilnya.
By.Admin : Abu Iram Muhammad Yusuf
0 komentar:
Posting Komentar
Anda Perlu Informasi? Atau Anda Ingin Berkomentar? Silahkan Tulis Disini. Komentar yang dimuat hanya yang memenuhi syarat: bukan perdebatan, bukan gunjingan, kalimat yang sopan, dan bermanfaat bagi umat... Dan Maaf Kami Tidak Melayani Perdebatan.