Seorang anak laki-laki yang telah beranjak dewasa pulang ke rumah orangtuanya. Rumah yang sederhana. Ketika malam tiba, sebagaimana biasa, anak tersebut bercengkerama dengan kedua orangtuanya, melepas kerinduan antara anak dan orangtua setelah sekian waktu tidak berjumpa. Malam itu, mereka bercengkerama di atas tempat tidur. Dan biasanya, dalam keadaan seperti itu, selalu ada perbincangan antara anak laki-laki tersebut dengan kedua orangtuanya.
Malam itu, ketika anak laki-laki itu pulang ke rumah orangtuanya, terjadilah perbincangan antara anak laki-laki tersebut dengan kedua orangtuanya. Sambil memijit-mijit punggung bapaknya, sang anak mendengarkan setiap wasiat yang keluar dari lisan orangtua. Orangtua yang beranjak tua sering memberikan wasiat dan nasehat kepada anak-anaknya. Malam itu, sang orangtua mewasiatkan tentang birrul walidain. Sang ibu mengingatkan anak laki-lakinya tersebut tentang perbandingan antara kasih sayang orangtua kepada anak dengan kasih sayang anak terhadap orangtua. Sang ibu menggambarkan bagaimana perbandingan keduanya dengan kalimat yang singkat, namun sarat akan makna sehingga anak laki-laki tersebut mengenangnya, menyimpan pesan tersebut. Bagaimana seorang ibu menggambarkan kasih sayang orangtua kepada anak dibanding kasih sayang anak kepada orangtuanya? Kalimat ringkas yang dipergunakan oleh sang ibu adalah:
Sedepo Kurang Dhowo, Sekilan Kakean
(Kalimat bahasa Jawa. Maknanya dalam bahasa Indonesia adalah “Sedepa Kurang Panjang, Satu Jengkal Kebanyakan”)
Ya. Kalimat ringkas yang sarat makna yang menggambarkan tentang perbandingan antara kasih sayang orangtua kepada anaknya dengan kasih sayang anak kepada orangtuanya. Dalam pepatah Indonesia, kasih sayang orangtua (terkhusus adalah ibu) digambarkan dalam lantunan syair:
Kasih ibu sepanjang jalan. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.
Atau dalam kalimat yang lain: Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.
Itulah perumpamaan yang dibuat untuk menggambarkan betapa kasih orangtua (terkhusus ibu) sangatlah besar kepada anak-anaknya. Dikarenakan besarnya kasih sayang yang dicurahkan oleh orangtua kepada anak-anaknya, maka Allah mewajibkan bakti kepada kedua orangtuanya, terlebih kepada seorang wanita yang berkedudukan sebagai ibu.
Kedudukan Ibu Dalam Islam
Dalam Al-Qur’an, Allah memuliakan orangtua (terkhusus ibu) di dalam berbagai ayat. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَوَصَّيْنَاالإِنسٰنَ بِوٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَٰلُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami wasiatkankan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Dalam ayat yang lain,
وَوَصَّيْنَاالإِنسٰنَ بِوٰلِدَيْهِ إِحْسَٰنًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصٰلُهُ ثَلٰثُونَ شَهْرًا
“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15)
Ayat-ayat diatas menjadi dalil tentang kewajiban berbakti kepada orangtua atas anak. Bahkan Allah menyandingkan perintah beribadah kepada-Nya semata dengan perintah untuk berbakti kepada orangtua. Beribadah kepada Allah semata dengan tidak berbuat syirik adalah kewajiban teragung yang diwajibkan oleh Allah atas hamba. Namun, kewajiban itu disandingkan dengan kewajiban untuk berbakti kepada orangtua. Allah berfirman (artinya),
“Sembahlah Allah semata dan jangan berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbaktilah kepada kedua orangtua” (QS. An-Nisaa`:36)
Ayah memiliki hak atas anaknya dalam hal bakti sebagaimana ibu juga memiliki hak yang sama atas anak. Akan tetapi Allah melebihkan hak ibu atas anaknya dalam hal bakti dikarenakan perkara yang Allah lebihkan untuk ibu, yakni mengandung, melahirkan dan menyusui.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh seorang sahabatnya tentang bakti anak kepada orangtuanya.
يا رسول الله من أحق الناس بحسن صحابتي؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال أمك. قال: ثم من؟. قال: أمك. قال: ثم من؟. قال: أبوك
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Jika demikian mulianya kedudukan ibu dalam Islam, maka sebuah keharaman yang besar pula ketika sang anak mendurhakai ibunya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian berbuat durhaka kepada para ibu ….” (HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan haramnya durhaka kepada ibu karena kedudukan ibu lebih mulia daripada kedudukan ayah. Bukan berarti Allah hanya mengharamkan durhaka kepada ibu saja. Kedurhakaan kepada ayah juga merupakan dosa besar.
Lalu bagaimana dengan seorang anak yang tega membunuh ibunya sendiri? Anak semacam ini telah melakukan sebesar-besar keharaman, dan seolah-olah ia telah mengharamkan surga atas dirinya.
Dalam sebuah hadits
رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَارَسُولَ اللهِ؟ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka, celaka, dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 4627)
Kasih sayang orangtua yang begitu besar kepada anak menjadi sebab tidak terbayarnya jasa kedua orangtua atas anaknya sehingga apapun usaha seorang anak untuk membalas jasa tersebut, niscaya tidak akan terbayar sedikitpun.
Dari Abu Burdah, bahwa dia menyaksikan Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhumaa dan seorang laki-laki yang bertawaf dengan menggendong ibunya di belakang punggungnya. Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah bin Umar radhiyallaahu ‘anhuma, “Belum, setetespun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad No.9)
Maka, tunjukkanlah bakti kita kepada kedua orangtua kita, khususnya ibu kita. Apakah berat bagi kita untuk mencium tangan kedua orangtua kita ketika kita berjumpa atau ketika kita berpisah dengannya? Apa susahnya bagi kita memijit pundaknya, punggungnya, kakinya, kepalanya ketika mereka meminta kita untuk menghilangkan penat di badannya? Jika kita melakukan yang demikian, sungguh usaha-usaha tersebut toh belum bisa membalas kebaikan orangtua kita kepada kita, walau hanya satu hentakan nafasnya ketika melahirkan kita.
Maka, sangat tepatlah apa yang diumpamakan oleh sang ibu dengan kalimat singkat dan padat ketika menggambarkan dan membandingkan kasih sayang orangtua kepada anaknya dengan kasih sayang anak kepada orangtua, “Sedepo Kurang Dhowo, Sekilan Kakean”. Atau dalam peribahasa negeri kita, Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.
اللّٰهُمَّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Ya Allah. Limpahkanlah rahmat kepada kedua orangtua(ku) sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil.
Allaahua’lam bish-showab
Ditulis oleh Abu Shofiyah Aqil Azizi
0 komentar:
Posting Komentar
Anda Perlu Informasi? Atau Anda Ingin Berkomentar? Silahkan Tulis Disini. Komentar yang dimuat hanya yang memenuhi syarat: bukan perdebatan, bukan gunjingan, kalimat yang sopan, dan bermanfaat bagi umat... Dan Maaf Kami Tidak Melayani Perdebatan.